teknokra.co: Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu adanya pelanggaran privasi, ketiadaan concent, dan lemahnya keamanan digital. Hal tersebut disampaikan oleh Nenden S. Arum, Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet dalam Campus Online Talkshow via Zoom Meeting yang digelar oleh Magdalene bekerja sama dengan The Body Shop dan Yayasan Pulih, Jumat (5/3).
Dalam diskusi yang mengangkat tema “Menciptakan Kampus yang Aman” tersebut, Nenden juga mengatakan bahwa yang khas dari KBGO yang ditujukan untuk perempuan di media sosial adalah penampilannya atau seksualitasnya.
“Dalam salah satu kasus KBGO yakni penyebaran konten intim tanpa izin orang yg terlibat ke media sosial cukup dilematis. Pasalnya pihak korban dapat ikut terkena hukuman karena minimnya perlindungan hukum bagi para korban,” ujarnya.
Sri Ayu Indah Mawarni, Pemimpin Redaksi Cetak UKPM Teknokra mengatakan, menurut survey yang diadakan oleh UKPM Teknokra dengan sasaran mahasiswa Unila didapatkan fakta bahwa sebagian besar dari mereka tidak menyadari bahwa telah mendapat tindak KBGO.
“Mereka tidak merasa terkena KBGO ini, tapi mereka pernah (terkena KBGO) setelah disebutkan apa-apa saja jenis-jenisnya mereka mengisi,” ujarnya.
Berdasarkan survey tersebut juga didapatkan bahwa perempuan lebih banyak mendapatkan kekerasan gender yakni sekitar 50, 49%.
“Kalau di kampus sudah ada layanan konseling untuk mahasiswa yang terkena pelecahan seksual, namanya Unit Pelayanan Konseling Terpadu. Namun, berdasarkan survey sebagian besar mahasiswa tidak mengetahuinya,” jelasnya.
Elni Nainggolan, Ketua Lingkar Studi Gender Mahasiswa Universitas Airlangga mengatakan di Universitas Airlangga KBGO tidak bisa dianggap sepele, karena sekitar 20,9% responden pernah mengalami KBGO.
“Sebagian besar responden menyatakan melawan, memberikan respon terkit dengan tindakan KBGO yang mereka dapatkan. Hanya 3,2% yang masih bingung harus merespon seperti apa. Ia juga menilai maraknya kekerasan berbasis gender terjadi karena kurang fahamnya mahasiswa terhadap seksualitas dari dirinya sendiri.
“Jadi PR bersama untuk teman-teman Unair untuk bisa sama-sama bersinergis bagaimana memberikan penyelesaian atau edukasi minimal untuk teman-teman mahasiswa,” ujarnya.
Ratu Ommaya, PR & Community Manager The Body Shop Indonesia, mengatakan kekerasan gender yang marak terjadi di media sosial lebih banyak menggunakan UU ITE dalam menyelesaikannya.
“Namun faktanya, undang-undang tersebut dinilai belum dapat menangani kasus KBGO dengan baik,” ungkapnya.
Ia kemudian mengajak lebih banyak orang untuk menandatangi petisi yang mendesak agar RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) segera disahkan.
“Kita bisa ambil peran dan ambil bagian dengan cara mengisi petisi dan rencananya hari senin besok (8 Maret) petisi yang sudah terkumpul hingga saat ini yakni 389 ribu dari target 500 ribu akan kami serahkan ke komisi 8 DPR RI terkait dengan International Women’s Day,” pungkasnya.
Penulis: Sandra Puspita