Teknokra.co : Pemilihan raya (Pemira) Universitas Lampung (Unila) yang diadakan serentak pada Desember lalu diduga ada praktik kecurangan dalam pemungutan suara. Hal itu ditandai dengan banyaknya respon dari publik terutama mahasiswa yang menduga bahwa tidak adanya transparansi dalam proses Pemira Unila tahun 2023. Dalam hal ini, banyak pihak yang membutuhkan keadilan dalam dugaan pelanggaran tersebut.
Diketahui, peserta Pemira Unila tercatat dua pasangan calon (paslon) Ketua dan Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Unila (BEM-U). Yakni paslon nomor urut satu (Ahsanul Khotam-Zaid Aiman Abdul Ghony), dan paslon nomor urut 2 (Bani Safi’i-Alvin Rahmat Dani). Dilansir dari akun Instagram Panra Unila 2023 @panraunila2023 bahwa paslon nomor urut 2 mendapat pemungutan suara lebih unggul dari paslon nomor urut 1. Namun, hal itu justru diduga adanya penggelembungan suara yang diperoleh dari paslon nomor urut 2.
Selain itu, dugaan kecurangan tersebut terlihat dari proses yang tidak transparan, pelarangan untuk saksi berada di Tempat Pemungutan Suara (TPS), bahkan pemilihan yang seharusnya hanya diikuti oleh mahasiswa Unila, justru diduga diikuti oleh mahasiswa luar. Hal itu disampaikan oleh Paslon nomor urut 1, Ahsanul Khotam (Ilmu Hukum’20) yang pihaknya sangat dirugikan dan merasa sangat dicurangi.
“Penempatan TPS di lokasi tertutup dan sulit dari jangkauan mahasiswa, selain itu saksi juga tidak diperbolehkan untuk berada di ruangan pencoblosan dan tidak adanya transparansi Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang hadir ketika pemungutan suara, selain itu, kami juga menemukan adanya mahasiswa di luar Unila yang turut berpartisipasi,” katanya.
Menurut Ahsanul, seharusnya pihak penyelenggara Pemira Unila mampu memberikan pendidikan politik yang baik di kampus, namun hal tersebut berbanding terbalik dengan fakta di lapangan.
“Banyak ditemukan indikasi tidak baik dari pihak penyelenggara Pemira itu sendiri,” ujarnya.
Pihak paslon nomor urut 1 itu telah berupaya dengan melaporkan dugaan proses curang tersebut pada pihak Badan Arbitrase Pemilihan Raya Unila (Bapra). Pihaknya juga telah mengumpulkan sejumlah bukti yang diduga ada indikasi kecurangan dalam proses Pemira Unila.
“Sejauh ini langkah yang sudah kami tempuh adalah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran Pemira dan menyerahkan laporan dugaan pelanggaran Pemira kepada Bapra,” ucapnya.
Ia juga menuturkan, jika nanti tidak mendapat keadilan dari hasil keputusan Bapra, maka pihaknya akan mengajukan banding kepada pihak yang lebih tinggi, yakni Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Unila.
“Dan jika nantinya hasil putusan Bapra belum mencerminkan prinsip keadilan, tidak menutup kemungkinan kami akan melakukan banding ke Wakil Rektor III,” tuturnya.
Saat ini pihaknya tengah menunggu hasil keputusan yang nanti akan disampaikan oleh Bapra.
Namun pandangan berbeda datang dari Ketua Panra Unila, Achmad Verdi Jayanto (Ekonomi Pembangunan’20). Dirinya meng-klaim bahwa tidak ada tindakan kecurangan yang dilakukan dalam proses Pemira Unila.
“Saya sebagai ketua Panra tidak melihat adanya tindakan penggelembungan suara,” katanya.
Menurutnya, saat proses penghitungan suara yang dilakukan oleh Panra, proses itu telah menghadirkan sejumlah saksi, yakni dari pihak kedua paslon peserta Pemira Unila.
“Dalam proses perhitungan suara disaksikan oleh saksi dari kedua calon Ketua dan Wakil Ketua BEM-U KBM Unila,” jawabnya.
Saat ditanya mengenai TPS di kampus Unila cabang Metro ditiadakan, serta penghitungan suara dari TPS kampus Unila cabang Polim yang dilakukan di Unila pusat, pihaknya menjawab bahwa hal itu merupakan hasil kesepakatan dalam rapat pleno dan koordinasi, serta aturan yang termuat dalam tata tertib.
“Berdasarkan rapat pleno dan rapat koordinasi yang dihadiri WR III, Bapra, dan DPM-U,” jawabnya.
Verdi sapaannya itu, mengarahkan untuk melaporkan dan membuktikan dugaan tersebut ke Bapra, jika memang ada indikasi kecurangan yang memberatkan sejumlah pihak yang terlibat.
“Bila beredar informasi dugaan penggelembungan suara, silakan dilaporkan dan dibuktikan kepada Bapra,” ucapnya.
Pihaknya juga telah menyerahkan sepenuhnya pada Bapra, serta tengah menunggu hasil keputusan oleh Bapra. Pihaknya juga akan meninjau kembali jika nanti hasil keputusan Bapra tak sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan oleh Panra.
“Kami tetap menunggu putusan dari Bapra atau Wakil Rektor III, apabila keputusannya tidak sesuai dengan apa yang telah Panra tetapkan, sehingga akan kami tinjau kembali,” tuturnya.
Saat diminta penjelasan oleh Reporter Teknokra, terkait perbedaan hasil jumlah penghitungan suara dari FKIP Unila dengan hasil jumlah penghitungan suara dari Panra, Verdi tak merespon. Ia juga tak merespon perihal permintaan dan pertanyaan yang Reporter kami ajukan terkait data absensi jumlah mahasiswa yang hadir saat proses pemilihan, guna menyesuaikan dengan jumlah penghitungan suara yang telah dilakukan. Pihak Teknokra juga telah menghubungi dan menanyakan perihal tersebut kepada pihak lain dari jajaran Panra, namun juga tak direspon hingga saat ini.
Berikut lampiran hasil penghitungan suara yang telah ditetapkan oleh Panra 2023 :
Berikut lampiran hasil penghitungan suara di FKIP Unila :
Sepantauan Teknokra, hasil penghitungan suara FKIP Unila yang ditetapkan Panra, sangat berbeda dengan hasil penghitungan suara di FKIP Unila. Diketahui total hasil penghitungan suara yang ditetapkan Panra berjumlah 2.229 suara yang diantaranya diperoleh dari paslon nomor urut 1 berjumlah 122 suara, paslon nomor urut 2 berjumlah 2092 suara, dan suara rusak berjumlah 15 suara. Sedangkan, total hasil penghitungan suara di FKIP Unila berjumlah 2.143 suara yang diantaranya diperoleh dari paslon nomor urut 1 berjumlah 101 suara, paslon nomor urut 2 berjumlah 2015 suara, dan suara rusak berjumlah 15 suara, akan tetapi jumlah total penghitungan suara di FKIP Unila tak sesuai dengan perincian yang tertulis.
Dalam hal ini Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Unila, Anna Gustina Zainal juga merespon. Saat ini pihaknya terus mengawal persoalan tersebut dengan terus mengumpulkan seluruh informasi, data, dan fakta di lapangan.
“Kita tetap kan saya juga menerima laporan, saya memastikan proses Pemira berjalan, saya tetap mengumpulkan data apa fakta di lapangan nih dengan menggunakan dua telinga, dua mata saya teman-teman juga saya juga berusaha mengumpulkan informasi dari semua pihak,” katanya.
Menurut Anna, pihak Panra telah menyelesaikan tugas, serta telah membuat laporan tertulis kepadanya.
“Dalam hal ini Panra mereka sudah menyelesaikan tugasnya, mereka sudah menyampaikan laporannya secara tertulis kepada saya,” katanya.
Dirinya juga tetap berpegang teguh pada asas praduga tak bersalah dalam persolan ini. Ia berujar, bahwa perlu adanya pembuktian yang akurat untuk dapat diproses oleh Bapra yang merupakan sebuah lembaga yang bertugas dalam menangani pelanggaran dalam Pemira Unila.
“Kan tetap kita tetap asas praduga tak bersalah, kan masih harus ada pembuktian jikalau ternyata seperti, adanya riak-riak, adanya duga-dugaan, sesuai dengan aturan yang ada, silakan sampaikan ke Bapra, itu kan ranahnya Bapra ya kan, silakan sampaikan keberatan itu kepada Bapra disertai dengan data dan bukti yang akurat silakan,” ujarnya.
Anna menuturkan, bahwa setiap peserta pemira berhak untuk menyampaikan aspirasinya, termasuk keluhan dan keberatan yang dirasakan. Anna mengimbau untuk dapat melaporkan persoalan tersebut langsung kepada Bapra. Menurutnya, dalam hal ini perannya masih belum berhak langsung mengambil tindakan, lantaran harus melalui proses yang tercantum dalam aturan yang telah ditetapkan, yakni harus terlebih dahulu ditangani oleh Bapra.
“Nyampein ke Bu Anna juga percuma saya juga enggak bisa ngapa-ngapain kan ini kan masih prosesnya masih dalam rangkaian proses satu step lagi yaitu teman-teman yang ada di Bapra. Belum ada hak saya, silakan mereka selesaikan dulu, ” ucapnya.
Pihaknya baru akan menjalankan peran, jika nanti sudah masuk waktu ranahnya tiba.
“Kalau sekarang kan masih ada Bapra, masih waktunya Bapra untuk memproses, jadi saya selaku WR III tentu saja baru akan masuk ke dalam ranah itu setelah memang ranah itu memang sudah menjadi ranah saya,” jawabnya.
Ia juga menegaskan, bahwa pihaknya tidak akan melakukan intervensi kepada para pihak yang terlibat, serta akan selalu menjaga komitmen tersebut.
“Dan adik-adik tahu, saya tidak ada intervensi. Saya juga tidak mau mengintervensi, kita komitmen gitu loh. Dan saya pastikan sedari awal proses Pemira ini dari baik dari Dekanat artinya pihak Dekanat, dalam hal ini teman-teman WD III, saya, tim kerja saya, dari Rektorat dalam hal ini saya selaku WR III, kami tidak mengintervensi proses Pemira ini,” tegasnya.
Dirinya juga akan tetap menunggu proses kelanjutannya, dan meminta untuk tetap berpandangan positif terhadap berlangsungnya persoalan tersebut sampai nanti keluar hasil keputusan akhir.
“Kita tunggu proses ini, saya minta semuanya kita untuk tetap berbaik sangka, kita cooling down, kita jalankan peran kita sesuai dengan tupoksinya masing-masing, supaya apapun keputusan yang diambil itu bisa melegakan semua pihak,” tegasnya.
Ia mengimbau untuk seluruh civitas akademika Unila untuk terus mengawal Pemira, belajar untuk menambah wawasan tentang politik kampus, dan berharap dapat mengamati segala bentuk persoalan dengan berimbang.
“Ini adalah proses berpolitik, kita belajar berpolitik di dalam kampus, yuk kita selesaikan sama-sama. Yuk kita kawal sama-sama kita menempatkan peran kita, ya kan pada sesuai dengan tupoksinya,” harapnya.
Selain itu, Ketua Bapra, Diaz Muhammad Hartawan (Ilmu Hukum’20) menyampaikan, bahwa pihaknya telah menerima laporan beserta bukti yang terlampir dari pihak pelapor yakni paslon nomor urut 1 dan tengah memproses.
“Saat ini kami telah menerima laporan dugaan pelanggaran Pemira dari pasangan calon nomor urut 1 dalam konteks pemilihan Calon Ketua dan Wakil Ketua BEM Universitas Lampung. Bukti sudah kami terima yang terlampir dalam laporan paslon 1,” ucapnya.
Dalam hal ini pihaknya juga tengah menunggu Sidang Pleno Gelar Pemeriksaan yang dijadwalkan pada 4-17 Januari 2024 mendatang, guna memproses hasil keputusan akhir.
“Saat ini tinggal menunggu jadwal untuk Sidang Gelar Pemeriksaan, terkait penilaian bukti itu nanti kita akan lihat pada Sidang Gelar Pemeriksaan,” tuturnya.
Diaz menjelaskan dalam PKBM No 1 Tahun 2023 Tentang Pemira, bahwa Bapra bertugas menerima, menangani, dan memutuskan laporan pelanggaran penyelenggaraan Pemira universitas dan fakultas di tingkat pertama. Diaz juga menegaskan, bahwa Bapra bertugas atas dasar laporan lengkap yang diterima.
“Yang pertama itu kami terima laporan, kemudian kami lihat unsur laporan terpenuh atau belum. Kalau belum, kami kembalikan dulu untuk diperbaiki. Kalau unsur laporan lengkap, kemudian kami tentukan tanggal Sidang Gelar Pemeriksaan,” jelasnya.
Lanjut ia menjelaskan, mekanisme Sidang Pleno Gelar Pemeriksaan, yang nantinya sejumlah pihak yang terlibat akan dihadirkan dan akan diproses dalam sidang tersebut.
“Di gelar pemeriksaan itulah nanti kita minta keterangan atau tanggapan dari pelapor, terlapor, dan saksi terkait laporan yang masuk, juga penilaian alat bukti. Setelah itu ada rapat pemusyawaratan putusan oleh Majelis Arbiter yang memimpin sidang yang terpisah dengan Sidang Gelar Pemeriksaan,” jelasnya.
Jika nanti terbukti ada pelanggaran dalam proses Pemira 2023, maka pihak Bapra akan membuat dan membacakan amar putusan, kemudian pihaknya akan menyampaikan pada Rektor Unila melalui wakilnya, setelah itu nanti akan ditindaklanjuti oleh Rektor Unila dengan keputusan Rektor Unila.
“Setelah itu baru pembacaan amar putusannya kalau terbukti memang ada kecurangan, kami akan membuat amar putusan yang menyatakan itu, dan menyampaikan ke Rektor melalui Wakil Rektor. Kemudian ditindaklanjuti oleh Rektor dengan membuat keputusan Rektor,” jelasnya.
Respon mahasiswa tak luput dalam persoalan ini, yakni Nasywa Nurfadila (Ilmu Hukum’22). Nasywa sangat menyayangkan demokrasi kampus yang dinilai masih kotor, lantaran terjadinya dugaan pelanggaran dalam Pemira Unila.
“Tentu ini adalah hal yang sangat disayangkan, karna seharusnya Pemira itu kan menjadi pesta demokrasi yang mengajarkan sistem politik, maupun demokrasi yang benar dan adil kepada mahasiswanya. Namun, kondisi sekarang jauh banget dari kata itu, penggelembungan suara yang terjadi di Unila menjadi bukti bahwa sistem demokrasi kita masih kotor,” keluhnya.
Tak hanya itu, dari hasil pemantauannya hasil perolehan suara tersebut dinilainya tak masuk akal, serta menurutnya civitas akademika harus lebih peduli dengan sistem demokrasi di kampus.
“Maka tanda tanya besar, dari mana hasil perolehan suara itu berasal ? Sebagai mahasiswa Unila kita patut mempertanyakan hal tersebut, karna ini bukan terkait siapa yang menang, siapa yang kalah, tapi tentang demokrasi yang baik dan benar dapat terwujud di Unila,” tegasnya.
Ia juga berharap, pihak Bapra mampu mengadili persoalan tersebut dan dapat menjadi lembaga terpercaya civitas akademika.
“Saya harap juga Bapra dapat independen dan netral serta bergerak dengan jujur dan adil. Karna masyarakat umum pun telah tahu dan menyaksikan bahwa ada banyak kejanggalan dalam proses Pemira. Mahasiswa Unila telah hilang kepercayaan terhadap panitia pemira, jangan sampai kepercayaan terhadap Bapra pun juga hilang,” tuturnya.
Selain Nasywa, mahasiswa lainnya, Yazid Muhammad Rizki Hanif Nurhalim (Pendidikan Biologi’22) juga menilai bahwa persoalan ini kerap terjadi sebelumnya dan merupakan kondisi yang memprihatinkan.
“Tapi, herannya ya, kasus seperti ini bukan hal yang baru, seolah klise, Nah, intinya ngelihat hal ini aku prihatin banget, jujur. Meskipun memang BEM organisasi yang diibaratkan layaknya negara, atau seperti layar kecil politik,” keluhnya.
Ia meminta Bapra dapat bersifat independen dan dapat menindaklanjuti persoalan Pemira Unila dengan cepat dan tepat.
“Maka dari itu hal yang mungkin bisa dilakukan ya, menekan atau bahkan meregulasi Bapra yang lebih independen dan lebih peka, progresif serta taktis saat mendapati laporan tentang isu-isu Pemira,” harapnya.
Yazid juga menuturkan, bahwa dalam persoalan ini pihak pimpinan fakultas bahkan universitas masih belum bisa mengambil risiko yang tinggi dan terkesan mencari posisi aman.
“Pastinya sudah terasa bahwa pihak Rektorat, Dekanat dan pimpinan-pimpinan di atas sana tidak terlalu ambil pusing, bahkan ku rasa dengan latar belakang bahwa BEM-U pernah dibekukan, tidak menjamin mereka akan berdedikasi sungguh-sungguh demi kebaikan seluruh mahasiswa, tapi hanya seolah mencari aman,” tuturnya.
Di tengah persoalan ini, pihak paslon nomor urut 2 yang terpilih tak merespon permintaan Reporter Teknokra, guna konfirmasi. Teknokra telah berupaya hingga berita ini telah diunggah pada Rabu, (10/1).