teknokra.co: Gawai merupakan barang yang selalu menempel dengan manusia dari bangun tidur sampai tidur lagi. Hal ini disampaikan oleh Ambar Arum Kaloka (Ilmu Tanah’18). Menurutnya, berselancar di internet dapat menghilangkan rasa lelah setelah mengerjakan tugas kuliah. Selain itu, Ambar merasa gelisah, apabila gawai miliknya tidak memiliki sinyal internet.
“Kadang merasa gelisah, mungkin karena terbiasa dikit -dikit internetan untuk buka media sosial. Bisa abis 15 GB untuk internetan,” ujarnya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Khansa Ranbia Audreyzovna Olova (Ilmu Komunikasi ’19). Ia mengatakan bisa menghabiskan 14 jam bersama gawai semenjak kuliah daring diterapkan.
Ia sering kali merasa ada yang kurang dalam dirinya jika tidak berselancar di media sosial dalam sehari. Pengalaman ini, ia rasakan saat berkunjung ke rumah neneknya di Tulang Bawang.
“Tapi, memang kerasa banget kurangnya kalau gak main media sosial karena sudah kebiasaan kan setiap hari media sosialan mulu gitu,” katanya.
Kurnia Oktarin (Ilmu Komunikasi’19) menuturkan dirinya tidak bisa jika dalam sehari tidak mengakses internet. Ia merasa jenuh, jika tidak memainkan gawai. Menurutnya, hanya dengan satu genggaman gawai. Ia dapat mengakses berita,games, drama korea, film sampai media sosial.
“Biasanya cuma nyari berita hari ini, apalagi kalo ada drama di Twitter, seru,” ujarnya.
Kecanggihan teknologi gawai dimanfaatkan juga oleh Celvien Anshara (Sosiologi’17). Celvien merasakan ada yang kurang jika tidak membawa gawai. Sebab, akan menyulitkan dirinya untuk berkomunikasi.
“Alhamdulillah, dari adanya kecanggihan handphone ini, saya bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan kuliah saya sendiri,” katanya.
Melihat perilaku masyarakat yang sangat bergantung pada gawai untuk melakukan aktivitas di era digital. Prilaku tersebut dapat memicu nomophobia. Dosen program studi Bimbingan dan Konseling, Mujiyati, menjelaskan nomophobia merupakan sindrom ketakutan yang berlebihan ketika seseorang tidak bisa mengakses gawai.
“Hal ini disebabkan karena tingkat penggunaan smartphone yang terlalu lama di luar batas kewajaran, yang berdampak pada kebiasaan memegang smartphone sehingga pengguna menjadi ketergantungan terhadap smartphone tersebut,” katanya.
Selain itu, Mujiyati juga menjelaskan terdapat ciri-ciri orang yang dikatakan sebagai nomophobia diantaranya memiliki rasa cemas, gugup, dan takut ketika gawai tidak berada di dekatnya. Pengguna gawai merasa tidak nyaman ketika ada gangguan jaringan dan baterai lemah atau habis. Lalu, Pengguna gawai selalu mengecek notifikasi untuk melihat pesan atau panggilan masuk. Kemudian, mereka tidak pernah menonaktifkan gawai. Bahkan, mereka lebih nyaman berkomunikasi dengan orang lain menggunakan gawai daripada berkomunikasi secara tatap muka.
Perkembangan teknologi pada era digital menciptakan perubahan perilaku sosial pada masyarakat. Sebelumnya, individu banyak berinteraksi sosial secara langsung. Sedangkan, saat ini interaksi sosial lebih banyak menggunakan gawai sebagai media berinteraksi. Ketergantungan ini, yang mendorong individu menjadi nomophobia.
“Namun, tidak sepenuhnya era digital ini berdampak negatif. Jika saja individu mampu memanfaatkan perkembangan teknologi ini dengan bijak,” katanya.
Secara psikologis, orang yang mengalami nomophobia akan merasa cemas, stres, bingung, takut, memiliki perasaan was-was, merasa sendiri atau kesepian. Karena, berjam-jam menghabiskan waktu dengan gawai tanpa berinteraksi langsung dengan orang lain. Kemudian, orang tersebut menjadi lebih mudah marah dan panik, serta sulit fokus dan berkonsentrasi ketika belajar.
Sedangkan dampak sosialnya, penarikan diri dari lingkungan sosial. Sehingga, terjadi perilaku intoleransi, dan kesulitan mengontrol perilaku.
Mujiyati memberikan saran agar terhindar dari nomophobia. Setiap orang dapat mengatur dan membatasi penggunaan dengan menentukan area bebas gawai.
“Selain itu, mahasiswa juga dapat mengganti waktu penggunaan smartphone dengan aktivitas yang lebih sehat dan bermanfaat bagi diri. Misalnya berolahraga, membaca buku atau menyalurkan hobi yang dimiliki,” pungkasnya.
Penulis Fahimah Andini