Sastra Bisa Menjadi Objek Penanaman Karakter

481 dibaca

 


13262310_1119587588104126_246361948_o

Prof. Bujang Rahman menyampaikan persoalan karakter bangsa yang landasannya budaya dan ideologi Indonesia, tetapi terjadi ketimpangan dengan karakter masyarakat sekarang sehingga, mengakibatkan penuranan karakter yang tidak hanya di kalangan masyarakat tetapi dunia pendidikan termasuk perguruan tinggi seperti kebiasan saling mencaci maki, mencari kesalahan orang lain sehingga, menyebabkan banyak konflik. “Mengatasi hal itu sastra bisa membentuk melalui satu proses, yaitu bagaimana internalisasi sastra ke anak didik bukan hanya mengetahui sastra dan mengaplikasikan saja, tetapi menanamkan nilai-nilai sastra,” paparnya.

Setelah  penampilan musikalisasi puisi dan rampak puisi dari Kosakata  dilanjutkan pemateri pertama disampaikan Muhammad Fuad meledakan potensi berbahasa dan sastra siswa melalui sinergi guru dan siswa. Mimpi kita saat ini yaitu Indonesia hebat sesuai progam pemerintah sehingga, diperlukannya generasi hebat yang hasil dari pendidikan hebat dan ciri pendidikan yang hebat dididik oleh guru  hebat yang meledakan berbahasa dan bersastra siswanya. “Ada tiga sasaran dalam praktik pembelajaran yaitu pembelajaran tentang bahasa, belajar bahasa, dan belajar memahami bahasa,” ungkapnya.

Sejalan dengan Muhamad Fuad, Ketua Umum Pusat Hiski  menambahkan sastra memiliki sifat idealis yang diartikan bebas atau tidak mau kompromi sedangkan pembelajaran memunyai sifat praktis. Sastra tidak  harus mengabdi kurikulum karena sastra diciptakan tidak atau jarang dirancang untuk diajarkan. Oleh karena itu, ada tiga alasan guru,mengajarkan sastra dan mencoba mengaiktkan dengan kurikulum yaitu ingin menjadikan sastra sebagai objek penanaman karakter tertentu, teks sastra jujur dan aneh-aneh, sehingga pantas untuk dibaca untuk memecahkan masalah, dan ingin mengajak subjek didik suka dengan sastra bukan belajar bahasa yang hanya menganaisis titik dan koma. ”Sastra kita saat ini sedang memasuki gawat darurat dan kadang sastra menderita penyakit 3S, yaitu stres berat, stroke, dan setop sehingga, sangat menyedihkan,” tuturnya.

Pemateri terakhir Taufiq Ismail yang disambut antusias sejak memasuki ruangan seminar menyampaikan pada zaman masa penjajahan dulu, siswa AMS (setara SMA) Hindia Belanda-A di Yogyakarta(1939-1942)diwajibkan membaca 25 judul buku sastra dan AMS Hindia Belanda di Malang (1929-1932) siswa diwajibkan membaca 15 buku sastra “Jumlah ini setara dengan jumlah buku yang harus dibaca siswa SMA Di negara maju seperti Jerman,Jepang, Swis, dan Amarika Serikat. Artinya justru di zaman penjajahan kita bisa bersaing dengan negara maju itu dalam soal sastra,” jelasnya.

Taufiq pun membandingkan keadaan sangat terbalik saat ini “sangat parah, parah sekali karena saat ini siswa SMA di seluruh Indonesia nol buku sastra, begitu pula daam menulis karangan” ujarnya lagi.

pembelajaran bahasa dan sastra di Sekolah Menengah Atas ada dua hal saja menurut Taufiq yaitu membaca buku dan menulis karangan bukan berarti menyampingkan tata ejaan yang disempurnakan karena itu cukup diajarkan di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Seminar yang ditutup dengan pembacaan puisi oleh Taufiq Ismail yang membacakan puisi karyanya “Kupu-Kupu Dalam Buku”.

Brian Raynold Pangondian (P.Bahasa dan Sastra Indonesia’15) sebagai peserta seminar  “ Banyak pelajaran yang saya dapatkan karena suatu saat saya akan menjadi pendidik dari sini saya akan tahu bagaimana cara membelajarankan bahasa dan sastra ke peserta didik saya, Brian berharap kedepannya acara ini bisa diadakan kembali,” tuturnya. Sejalan dengannya Anggia Putri (STKIP PGRI Metro) “Melihat sesosok Taufiq Ismail yang sudah tua renta masih gagah dan lantang menyampaikan materi sehingga, tidak bosan yang sudah berumur saja masih semangat masa saya kalah semangat datang ke seminar ini.” Ungkapnya.

Responses (0)

  1. Wah, Taufiq Ismail berkunjung ke Lampung dalam usia 80 tahun masih gagah, dahulu Taufiq Ismailmengunjungi Lampung terakhir usia 30 tahun, sehat trrus pak Taufiq Ismail

  2. Barusan aja ikut lomba puisi dan membawakan puisi pak taufi, eeh beliau ada dilampung trus kapan bsa baca puisi depan bapak itu ?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

10 − three =