Teknokra.co : Dalam implementasi program magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Universitas Lampung (Unila) mengembangkan jalur alternatif, yakni magang mandiri melalui kemitraan universitas maupun fakultas yang ada di Unila.
Program tersebut, membuka peluang baru bagi mahasiswa yang tidak mengikuti program magang jalur Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Magang mandiri jalur universitas, juga memungkinkan mahasiswa Unila untuk mengikuti program magang di perusahaan atau lembaga lokal di Lampung. Hal ini membuat magang mandiri menjadi lebih inklusif, dibandingkan program magang kementerian yang masih terpusat dan sebagian besar didominasi oleh perusahaan di pulau Jawa.
Meskipun demikian, terdapat kelemahan fundamental dalam pelaksanaan program magang mandiri di Unila. Tak seperti magang kementerian, di mana mahasiswa menerima uang saku dalam proses kerja mereka, namun hal tersebut berbanding terbalik dengan Mahasiswa yang mengikuti magang mandiri di Unila yang justru tak menerima uang saku apapun dari pihak universitas, selama satu semester mengikuti program magang mandiri.
Hal tersebut dinilai mahasiswa sangat membebani, lantaran mereka harus mengeluarkan uang pribadi untuk biaya transportasi serta akomodasi selama proses mengikuti magang.
Salah satunya dirasakan oleh Yanuar Amvares (Administrasi Negara’20), ia mengeluhkan selama dirinya mengikuti proses magang mandiri pada semester lalu. Dirinya harus mengeluarkan biaya dan konsumsi yang tinggi, dibandingkan dengan uang saku kuliah di kampus.
“Cukup membebani, karena jika dibandingkan transport untuk ke kampus dan ke tempat magang itu sangat berbeda mulai dari jarak sampai biaya konsumsi,” keluhnya.
Ia juga menyinggung soal hak magang mahasiswa selama berada sebuah perusahaan, di mana peserta magang berhak untuk memperoleh uang saku. Menurutnya, dalam hal ini justru berbanding terbalik dengan praktik di lapangan.
“Untuk magang itu sebenarnya di UU (Undang-undang) atau peraturan gitu sudah ada yang menjelaskan, magang itu minimal mendapatkan uang transportasi ataupun uang makan. Nah, tapi dalam praktiknya ini kan ternyata nggak, kalau pendapat saya sebenarnya harus dikaji lagi untuk magang mandiri fakultas,” katanya.
Sebagai salah satu Fakultas dengan jumlah mahasiswa magang mandiri yang cukup tinggi, Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kerja Sama Fisip Unila, Dedy Hermawan mengakui, jika memang tak ada uang saku dari pihak universitas untuk mahasiswa yang mengikuti program magang mandiri.
Menurutnya, selama ini mahasiswa kerap mendapat uang saku atau pendanaan dari instansi magang yang mahasiswa tepati.
“Justru mahasiswa itu kebanyakan mereka dapat dari tempat magangnya, bukan dari kita. Kalau dari Unila sampai sekarang belum ada. Mungkin ke depannya bisa jadi, kementerian aja ada, mestinya dari kampus juga ada,” tuturnya.
Kepala Pusat MBKM Unila Neni Hasnunidah, mengakui jika memang tak ada anggaran yang dipersiapkan dari universitas untuk meringankan pengeluaran mahasiswa magang mandiri, namun ia meminta kepada mahasiswa agar tak hanya berfokus pada uang.
“Magang mandiri kita belum ada slot. Kita anggarannya sendiri nggak ada, (Mahasiswa) Jangan hanya sekadar ingin dapat uang, seharusnya bukan itu yang dipikirkan mahasiswa. Mereka magang kan hard skill meningkat, soft skill menambah,” katanya.
Dalam hal ini, Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kerja Sama Unila, Suripto Dwi Yuwono juga turut menanggapi, menurutnya mahasiswa tidak perlu berharap pada biaya proses magang, lantaran hal tersebut merupakan pilihan hak bagi masing-masing mahasiswa.
“Mau mandiri atau dibayarin pemerintah itu pilihan dari mahasiswa. Jadi nggak harus terpaku ada pembiayaan baru dia ikut magang, begitupun dengan yang di luar, itu bagian mahasiswa untuk bagaimana dia mengembangkan dirinya,” pungkasnya.