teknokra.co: “Saya pernah 7 tahun tidak menulis. Pernah semalam menulis 18 puisi. Tidak apa-apa,” ujar sastrawan kenamaan Prof. Sapardi Djoko Damono dalam Seminar Nasional Seni dan Industri Kreatif, Senin (27/8). Baginya, menulis tidak perlu menunggu Ilham. “Ketika ingin menulis, menulislah.”
Menurutnya, sastra yang baik ditulis setelah ada jarak antara penulis dengan apa yang hendak ditulis. “Kalau marah tahan dulu, begitu pun saat jatuh cinta. Jangan langsung nulis karena tulisan itu nantinya jadi cengeng,” ujarnya saat ditanya lebih lanjut. Sastra harus memiliki karakter, bukan sekadar curahan hati penulis semata.
Di dalam fiksi, setiap yang ditulis memiliki nyawa. Terkadang tokoh punya keinginan yang menyimpang dari skenario penulis. Hal ini dituturkannya saat menceritakan Soekram, tokoh utama dalam trilogi Soekram yang ngeyel. Karenanya, penulis tak bisa selamanya memaksakan kehendak. Ini merupakan salah satu hambatan yang membuat proses menulis menjadi lama.
Tak hanya itu, ia juga menjelaskan letak kebebasan karya sastra sebagai daya tarik. ‘Hujan Bulan Juni’ merupakan judul bukunya yang melawan tatanan iklim karena pada dasarnya di Bulan Juni negara tropis mengalami musim kemarau. Itulah yang menjadikannya menarik. “Sebab kalau ‘Hujan Bulan Desember’ terlalu biasa. Orang tak perlu bertanya-tanya,” ungkapnya.
Sebagai akademisi sastra, ia melihat kesalahan yang kaprah dalam memulai kegiatan menulis. Misalnya dalam menulis karya ilmiah, seseorang cenderung lebih dulu menanyakan teori yang dipakai, bukan apa yang hendak ditulis.
“Teori itu ada untuk dibantah agar ilmu pengetahuan berkembang,” lanjutnya. Dalam kesempatan ini, ia juga menyampaikan agar kesimpulan dari sebuah tulisan harus bisa dibantah. Sehingga akan terus terjadi perkembangan dari waktu ke waktu.
Laporan : Rohimatus Salamah