Opini : Revisi RUU KUHAP Tahun 2025

Foto : Nasional/ Kompas.com
118 dibaca

Teknokra.co : Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) saat ini tengah dibahas oleh Komisi III DPR RI dan ditargetkan rampung pada akhir tahun 2025, untuk kemudian diberlakukan mulai 1 Januari 2026. Namun, dalam proses revisinya, terdapat sejumlah pasal yang dinilai berpotensi menambah kewenangan lembaga penegak hukum secara berlebihan dan mengancam Hak Asasi Manusia (HAM).

Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 12 dalam draf RUU KUHAP, yang memberikan dominasi besar kepada Kejaksaan Agung dalam sistem pidana. Selain itu, adanya wacana penghapusan tahap penyidikan juga dikhawatirkan dapat membuka ruang kriminalisasi dan mengancam perlindungan HAM. Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari organisasi profesi, akademisi, advokat, lembaga layanan korban, komunitas korban, kelompok rentan, dan masyarakat sipil lainnya mendesak DPR untuk membuka akses terhadap draf terbaru RUU KUHAP agar publik dapat terlibat secara aktif dalam proses legislasi.

Dalam upaya membentuk sistem peradilan pidana yang adil, transparan, dan berorientasi pada pemulihan, salah satu fokus utama revisi ini adalah penerapan prinsip _restorative justice_. Prinsip ini menekankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Namun, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) menilai bahwa pendekatan ini berpotensi merusak prinsip dasar peradilan pidana karena membuka kemungkinan semua perkara pidana diselesaikan melalui perdamaian.

Kekhawatiran juga muncul terhadap perluasan kewenangan jaksa, terutama dalam Pasal 12 Ayat 11 yang memberi hak kepada masyarakat untuk melapor ke kejaksaan jika laporan ke kepolisian tidak ditanggapi dalam 14 hari. Mekanisme ini dinilai dapat menciptakan tumpang tindih kewenangan dan membuka celah penyalahgunaan.

Pasal 30B dalam draf RUU KUHAP juga menjadi perhatian karena memperluas kembali peran jaksa sebagai penyidik sebuah model yang pernah diterapkan pada masa kolonial Hindia Belanda dan Orde Baru. Kritik juga diarahkan pada kurangnya transparansi dan minimnya pelibatan publik dalam proses revisi. Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar DPR RI membuka akses terhadap draf terbaru dan memastikan partisipasi bermakna masyarakat dalam pembahasan, terutama terkait pemenuhan hak-hak tersangka, saksi, dan korban.

Pasal 16 menjelaskan metode penyelidikan oleh aparat penegak hukum yang mencakup olah TKP, pengamatan, wawancara, pembuntutan, penyamaran, pembelian terselubung, pelacakan, hingga analisis dokumen. Namun, Direktur Eksekutif YLBHI menilai metode seperti penyamaran dan pembelian terselubung seharusnya tidak digunakan pada tahap penyelidikan. Metode tersebut berpotensi menciptakan tindak pidana baru yang merugikan warga negara tidak bersalah serta membebani sistem hukum dengan perkara yang tidak perlu.

Lebih lanjut, Pasal 90 yang mengatur penangkapan tanpa batas waktu dan tanpa izin pengadilan mendapat sorotan publik. Banyak pihak menilai bahwa penangkapan harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip perlindungan HAM dan kepastian hukum. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah didesak untuk mengkaji ulang pasal ini demi menjamin proses hukum yang akuntabel, proporsional, dan sesuai dengan prinsip negara hukum. Revisi ini harus diarahkan untuk memperkuat pengawasan pengadilan terhadap proses penangkapan, termasuk penetapan batas waktu penahanan dan perlindungan hak tersangka sejak awal.

Dalam pernyataannya, Komisi III DPR RI menyatakan komitmennya untuk mengoptimalkan partisipasi publik dalam pembahasan RUU KUHAP dengan cara menyerap aspirasi masyarakat secara langsung melalui kunjungan ke daerah pemilihan. Revisi RUU KUHAP 2025 diharapkan menjadi langkah penting dalam membangun sistem peradilan pidana yang lebih responsif terhadap perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

Penerapan prinsip _restorative justice_ dan perbaikan struktur kewenangan lembaga penegak hukum dapat menciptakan sistem yang lebih adil dan transparan. Namun, keberhasilan revisi ini sangat bergantung pada proses yang inklusif dan partisipatif, serta keterbukaan terhadap kritik dan masukan dari seluruh elemen masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × three =