Teknokra.co : Kerusakan hutan di Lampung akibat adanya alih fungsi lahan dari kebijakan pembangunan pemerintah setempat. Hal itu diungkapkan dalam diskusi publik yang diadakan Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bersama Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Universitas Lampung (Unila) di ruang sidang Gerha Kemahasiswaan Lt.2 Unila pada Senin, (3/6).
Diskusi ini bertajuk “Deforestasi atas nama Investasi”, berawal dari liputan video “Melawan Penjagal Hutan Kalimantan” hasil garapan enam media, diantaranya CNN Indonesia (TV), Pontianak Pos, Jaring.id, Betahita.id, Mongabay.co.id, dan Gatra.
Dalam diskusi tersebut juga disebutkan bahwa selain Kalimantan, nampaknya Lampung juga demikian. Diungkap bahwa sampai saat ini, lahan seluas 375.928 dari 1.004.735 hektar total hutan Lampung mengalami kerusakan yang parah.
Perwakilan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung, Mustakim dalam diskusi itu menyampaikan pantauannya mengenai kasus-kasus di Lampung. Ia menyebut bahwa dengan alih fungsi lahan tersebut dapat menyebabkan bencana yang merusak lingkungan.
“Di kawasan hutan lindung ataupun di kawasan hutan perkotaan yang dialihkan menjadi perkebunan monokultur kemudian menjadi pemukiman, kawasan hutan lindung yang berada di Kecamatan Panjang diagendakan menjadi sebuah pemukiman kurang lebih seluas 2-3 hektar, ke depannya di bawah kawasan hutan lindung itu terdapat kawasan pemukiman yang di mana ketika hutan tersebut dirusak atau dialihkan menjadi pemukiman maka dampak yang terjadi di pemukiman di bawahnya seperti banjir,” tuturnya.
Ia juga menyinggung ruang terbuka hijau yang ada di pusat kota sangat minim, lantaran banyak dialih fungsikan menjadi kawasan pusat bisnis.
“Kemudian Taman Hutan Kota yang ada di Bandar Lampung dialih fungsikan menjadi pusat perbelanjaan terbesar di Provinsi Lampung, itu menjadi salah satu dampak berkurangnya ruang terbuka hijau yang ada di Kota Bandar Lampung,” katanya
Selaku Pengamat Kebijakan Publik, Dodi Faedlullah menambahkan bahwa kasus serupa seperti di Kalimantan terindikasi bahwa masyarakat di sana tak pernah diajak komunikasi sehingga praktik-praktik kebijakan yang disusun tidak bisa dipahami oleh masyarakat.
“Oleh karena itu kita perlu bisa memahami itu, seperti mau tidak mau kita harus melibatkan diri, kebijakan publik itu kan idealnya didorong pada data, studi ilmiah yang tentunya saya kurang yakin tidak mungkin ada satu bentuk dokumen yang menyebabkan menunda sebuah lingkungan hidup. Di samping itu juga kita harus mengetahui fakta sosialnya, fakta historisnya, asal usulnya tidak bisa hanya terpaku pada legal dan ilegal, ” ungkapnya
Ida selaku perwakilan dari Bappeda Lampung merespon hal ini. Dirinya mengungkap bahwa angka kerusakan hutan di Lampung mengalami penurunan setiap lima tahun, bahkan pemerintah memiliki target untuk mengurangi angka kerusakan tersebut.
“Di situ kita sudah ditarget oleh pusat bahwa kerusakan hutan di provinsi Lampung itu sudah ada datanya, dalam perlima tahun ada penurunan, itu sudah ada target targetnya dalam satu tahun kita harus memenuhi target-target itu. Selain pemerintah pusat yang punya kendali kita yang di provinsi juga wajib memenuhi target penurunan angka perusakan hutan,” jelasnya
Menuju akhir diskusi Muh Miftah Faridh selaku Jurnalis CNN Televisi Indonesia memberikan pernyataan, ia menyimpulan bahwa angka kemiskinan semakin meningkat, lantaran negara harus mengeluarkan biaya penanganan setiap terjadinya bencana akibat kerusakan lingkungan.
“Kalau kemudian kawasan itu rusak apakah sepadan dengan pajak yang dibayar perusahaan itu, apakah sepadan dengan nilai investasinya, berapa triliun yang dikeluarkan negara untuk menangani banjir bandang dan kebakaran hutan, artinya kerusakan lingkungan itu menyumbang angka kemiskinan bagi kita semua,” pungkasnya.