Sesat Pikir Unila Soal Kekerasan Seksual

Sesat Pikir Unila Soal Kekerasan Seksual
Sesat Pikir Unila Soal Kekerasan Seksual
348 dibaca

Tulisan ini hasil republikasi dari lampung.aji.or.id

teknokra.com: BINGUNG dan geleng kepala ketika Universitas Lampung (Unila) mengeluarkan surat edaran untuk menindaklanjuti Permendikbud Ristekdikti Nomor 30 Tahun 2021. Ini adalah peraturan mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Surat edaran tersebut tentang Penyelenggaraan Bimbingan dan Ujian Komprehensif Skripsi/Tesis/Disertasi.

Setelah membaca poin pertama hingga kelima, saya sembari menghela napas dan makin yakin bahwa Unila belum memahami makna kekerasan seksual. Miris rasanya saat membaca poin pertama karena Unila hanya berfokus pada anggapan usang: pakaian penyebab pelecehan! Sangat celaka ketika kampus sebagai “kawah candradimuka”, tapi masih berpegang teguh pada pemikiran patriarkat.

Menurut Permendikbud 30/2021, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik, termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

Dari sini saja, Unila masih cacat pemahaman soal kekerasan seksual. Poin pertama dari kelima poin tersebut bahwa Unila masih meyakini kalau pelecehan seksual itu karena pakaian. Poin pertama menyebut “mahasiswa perempuan harus menggunakan rok panjang atau celana panjang”. Diksi itu terkesan bias gender, yakni ada semacam kewajiban bagi perempuan harus menggunakan rok panjang atau celana panjang dengan harapan “tidak dilecehkan.”

Pada 2019, Koalisi Ruang Publik Aman pernah menyurvei pakaian model apa saja yang dikenakan perempuan saat mengalami pelecehan seksual. Hasilnya, pakaian yang dikenakan penyintas adalah rok panjang dan celana panjang (17,47%); baju lengan panjang (15,82%); baju seragam sekolah (14,23%); baju longgar (13,80%); berhijab pendek/sedang (13,20%); baju lengan pendek (7,72%); baju seragam kantor (4,61%); berhijab panjang (3,68%); rok selutut atau celana selutut (3,02%); dan baju ketat atau celana ketat (1,89%). Yang berhijab dan bercadar juga mengalami pelecehan seksual (0,17%).

Data tersebut menegaskan bahwa tidak ada korelasi antara pakaian dengan perilaku kekerasan seksual. Dalam konteks ini, Unila memberi label bahwa mereka yang mengenakan rok pendek, tetapi masih kategori sopan menjadi biang kerok kekerasan seksual.

Suatu ironi kala Rektor Unila Prof Karomani bermimpi Unila menuju top ten university, tetapi membuat aturan turunan kekerasan seksual dari Permendikbud Ristekdikti saja masih cacat logika.

Poin pertama Surat Edaran Nomor: 22/UN26/TU/2021 itu termasuk mendiskriminasi gender. Edaran tersebut mewajibkan perempuan memakai rok panjang atau celana panjang. Padahal, tak ada jaminan mereka yang mengikuti poin pertama surat edaran itu tidak mengalami pelecehan.

Pelecehan bukan karena apa yang dikenakan perempuan. Hal itu lebih karena predator seksual memiliki niat dan pikiran kotor untuk melecehkan, tanpa memandang apa yang dipakai.

Unila pun pada akhirnya masih melanggengkan asumsi jika perempuan layak mendapat pelecehan karena apa yang ia pakai. Padahal, dalam banyak kasus, penyintas kekerasan seksual sering dikriminalkan dan menerima tuduhan secara serampang. Bukankah hak setiap perempuan untuk memutuskan apa yang dipakainya?

Kasus Universitas Sriwijaya, Univeristas Riau, dan banyak universitas lainnya maupun kasus pondok pesantren di Bandung – kita mesti menolak lupa untuk semua jenis kasus kekerasan seksual – harusnya menjadi cerminan pihak Unila untuk sadar bahwa mereka yang dilecehkan bukan karena pakaian. Mereka yang berpakaian rapi dan sopan menurut aturan kampus pun tetap saja menjadi mangsa predator seksual yang bersemayam di dalam civitas academica.

Saya hanya berpikir ketika nantinya aturan ini diterapkan, lalu masih ada mahasiswi yang mengenakan rok panjang dan pakaian sopan mengalami kekerasan seksual, apakah Unila akan menyalahkan korban? Jika demikian, bukankah Unila bersikap diskriminasi bahwa korban yang boleh dilindungi hanya yang mengikuti aturan, sedangkan yang tidak mengikuti aturan tak dapat dilindungi?

Siapa pun, termasuk perempuan, tidak boleh mendapat perlakuan sewenang-wenang. Mereka berhak memilih dan mempertahankan identitasnya sebagai manusia. Bila tak ada yang melapor bukan berarti tidak ada kekerasan seksual. Memang, Islam memerintahkan perempuan menutup aurat. Namun, para pengguna hijab juga tidak menutup kemungkinan mengalami kekerasan seksual.

Unila seyogianya berhenti mewarisi pemikiran sesat ihwal pakaian penyebab kekerasan seksual. Kebebasan berpakaian, selama itu sopan dan layak untuk melakukan bimbingan, saya rasa tidak harus diatur. Karena saya rasa juga mahasiswa sudah tahu pakaian yang pantas untuk menjalani bimbingan, terlebih bila bertemu dengan orang yang lebih tua.

Naif jika Unila masih menetapkan poin pertama dalam surat edarannya. Sebab, aturan berpakaian akan sia-sia jika warga Unila tidak mendapat edukasi soal apa saja yang termasuk dalam kekerasan seksual. Selama cara berpakaian masih dibuat aturan, selama itu pula ruang bebas dari kekerasan seksual masih sempit.

Edukasi Permendikbud Ristekdikti 30/2021 adalah jalan awal untuk menciptakan kampus aman dari kekerasan seksual. Aturan ini perlu disambut baik dengan membuat aturan turunan yang baik pula.

Jangan sampai Unila membuat aturan turunan hanya untuk menggugurkan kewajiban agar tidak terkena turun akreditasi kampus. Pasalnya, Menteri Nadiem Makarim mengancam kampus yang tidak menerapkan aturan ini. Tetapi, dalam implementasinya, dalam hal bimbingan skripsi Unila masih main-main pada kekerasan seksual.

Unila sebaiknya mempertimbangkan dialektika di publik terkait penanganan kekerasan seksual, bukan berkutat pada cara berpakaian. Perlu diubah pola pikir untuk saling menghormati antara laki-laki maupun perempuan, sehingga tidak menciptakan ketakutan akan mengalami kekerasan seksual saat bimbingan. Tetap berpikir merdeka!

Penulis: Andre Prasetyo Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen − one =