teknokra.co: “Bahkan kalau ada kegiatan-kegiatan kita (umat Budha) dilibatkan. Pada saat 17 Agustus misalnya, pak camat mengundang untuk dihadirkan kebudayaan Tionghoa barongsai, saya bawakan barongsai, dan kita malah di depan mengiringi pak camat beserta staf-stafnya menuju kelapangan upacara. Inikan suatu hal yang luar biasa, mungkin teman-teman jarang mendengar seperti ini tapi ini kenyataannya.”
Begitulah cerita Pandita Sumedho atau biasa akrab dipanggil Romo. Pria berusia 61 tahun saat ini menjadi pembina vihara dhamma ratana di Kecamatan Labuan. Cerita tersebut ia sampaikan pada Workshop Meliput Isu Keberagaman oleh Pers Mahasiswa yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) Sabtu, (17/10).
Awal Memasuki Labuan
Laporan tahunan Kebebasan Beragaman/Berkeyakinan dan Toleransi yang dikeluarkan oleh Wahid Institut 2013 menjelaskan pada tanggal 22 Februari Camat Karang Tanjung Kabupaten Pandeglang bertekad menutup Gereja Pantekosta.
Di tahun 2014 juga Bupati Pandeglang meminta Jemaah Ahmadiyah membentuk agama sendiri dan tidak membawa-bawa nama Islam. Karena menurutnya umat Islam menyatakan tidak akan pernah menerima pengikut Ahmadiyah sebagai pemeluk Islam.
Hal itu tidak dirasakan oleh Romo Toto saat di 2010 ia memasuki Labuan. Contohnya ketika ia bertemu dengan umat muslim di Labuan, Romo merasakan seperti sudah bertemu dengan saudaranya sendiri, karena menerima umat Budha dengan baik.
Gaya berbicara yang sangat semangat romo menjelaskan bagaimana membangun kembali eksistensi vihara di Kecamatan Labuan di Kabupaten Pandeglang yang sudah berdiri kurang lebih 26 tahun.
”Kita Budhist lalu masuk Labuan mendirikan vihara, dan ini didukung oleh warga sekitar. Nggak ada pertentangan ataupun penolakan,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan saat bertemu dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Labuan yang menerima dengan baik kehadiran umat Budha, selama semuanya mengikuti peraturan serta prosedur yang ada.
”Kalau kita semau-maunya di suatu tempat pasti ada penolakan, tetapi ketika kita mengikuti peraturan tidak ada penolakan malah didukung, buat saya ini satu kebahagian,”ungkapnya.
Membantu Tanpa Memandang Agama
Saat peristiwa tsunami terjadi pada tanggal 22 Desember 2018 di Lampung dan daerah pesisir Banten, Labuan terdampak besar akibat bencana tersebut. Romo dan umat Budha lainnya langsung melakukan bakti sosial kepada korban bencana tsunami 2 hari setelah peristiwa. Romo menjelaskan saat itu kondisi masih trauma dan menyeramkan.
Romo menuturkan ia dan umat budha lainnya yang berada di Labuan menyiapkan obat-obatan, sembako, pakaian layak pakai, sekaligus mendirikan posko sekitar selama 2 minggu.
”Dengan melayani warga-warga yang terdampak bencana, tanpa memandang dan memilih suku, ras dan agamanya, tetapi ini satu program penyelamatan kemanusiaan sebagaimana yang diajarkan oleh guru agung kami Budha Gautama,” tuturnya.
Ia pun menegaskan bahwa kegiatan kemanusiaan tersebut tidak ada embel-embel untuk mencari perhatian, melainkan hanya untuk satu misi yaitu menyelamatkan manusia yang terdampak bencana seperti yang diajarkan oleh Budha Gautama.
Romo menuturkan untuk mewujudkan toleransi adalah saling menghormati dan menghargai terhadap sesama, tanpa memandang dia adalah siapa. Kemudian, tidak memaksa kehendak dan tidak pernah menyatakan bahwa dirinya lah yang paling benar.
“Sesungguhnya perbedaan yang muncul itu suatu keindahan kalau kita mampu dan bisa menyatukan perbedaan itu. Tetapi, kalau kita melihat perbedaan itu sebagai satu dinding penyekat untuk kebersamaan bertoleransi kita, maka kita akan bermusuhan,” tuturnya.
Dengan tegas ia mengatakan bahwa dirinya hanyalah keturunan Tionghoa, tetapi ia tetap orang Indonesia.” Kita harus cinta tanah air, harus bela tanah air. Karena kita lahir di Indonesia, cari nafkah di Indonesia, injak tanah Indonesia dan mati pun di Indonesia,” katanya.
Vihara belum ada IMB
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kecamatan Labuan pada tahun 2017 ada 56.547 orang pemeluk agama Islam, 118 orang pemeluk agama Katolik, dan 80 orang pemeluk agama Budha.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) H. Entis Sutisna mengatakan bahwa jumlah rumah ibadah non-muslim yang di data oleh FKUB ada Gereja Katolik di Labuan 1, Vihara 1 dan Rumah Ibadah sementara jemaat Kristen protestan di Carita 1. Ia juga mengatakan bahwa ketiganya belum resmi karena belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sesuai Peraturan Bersama(Perber) 2006 tentang pendirian rumah ibadah.
“Tetapi keberadaannya sudah diterima olleh warga sekita dan sudah tercatat di Kantor Wilayah (Kanwil) Kementrian Agama (Kemenag) Provinsi Banten,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa kendala dalam perizinan ibadah sudah diatur dalam Perber Kemenag no 9 tahun 2006.”Mungkin kendalanya yaitu jumlah jemaatnya yang tidak memenuhi syarat, karena tidak boleh mendatangkan jemaat dari luar Desa, Kecamatan dan apalagi luar Kabupaten,” ungkapnya.
Tambahnya lagi dari ketiga rumah ibadah yang terdaftar oleh FKUB belum ada ususlan pendirian rumah ibadah sampai saat ini.
Komunitas Tjiringinese adalah komunitas yang inklusif untuk merawat keberagaman di Labuan. Faiz Romzi Ahmad selaku founder Komunitas Tjiringinese mengatakan bahwa Izin Mendirikan Bangunan (IMB)untuk rumah ibadah cenderung rumit karena harus mengikuti aturan yang berlaku sesuai peraturan Kemenag.
“jika konteksnya minoritas di tengah mayoritas di sisi lain harus memenuhi segala unsur kriteria yang sesuai dengan peraturan yang ada,” katanya.
Ia juga mengatakan meskipun tidak menadapat IMB, untuk soal dukungan masyarakat, mengenai minimum 60-90 orang dengan domisili di wilayah tersebut mendirikan rumah ibadah (gereja, vihara) dirasa sudah dicukupi “.Menurut saya Labuan adalah prototype keberagaman,” ujarnya.
Merawat Keberagaman Lewat Pertemanan
Ustad Toni sebagai tokoh muslim di Kecamatan Labuan Kabupaten Pandeglang mengatakan bahwa sejak dari dulu di Labuan sudah banyak umat agama yang lain. Ia juga mengatakan bahwa perbedaan suku dan agama di Labuan sejak zaman Belanda.
”Karena Labuan itu dulunya basis ekonomi untuk wilayah Kabupaten Pandeglang. Jadi banyak warga keturunan tionghoa itu di Labuan dan sudah seperti saudara,” katanya.
Bahkan Ustad Toni juga mengatakan akan menjamin keberagaman antar umat beragama dengan langsung turun tangan jika ada yang mengganggu umat beragama lainnya.
“Jangankan sama masyarakat kalau yang ganggu polisi saya juga turun. Saya yang marahin polisinya, karena polisi itu kan aparat yang harus melindungi masyarakat. Ketika ada salah satu masyarakat yang dizolimi harus dijaga keamanannya,”tuturnya.
Ustad Toni banyak memiliki kawan yang berbeda agama dengannya yaitu Hendrase, sebagai umat budha keturunan Tionghoa di Labuan. Hendrase mengungkapkan toleransi kebaragamaan dapat dilihat dari perayaan imlek di Labuan yang tidak ada pelarangan atau batasan dalam bentuk apapun.
“Tidak ada masalah, kita mau sembahyang terus masang ornamen di depan rumah juga nggak ada yang melarang,” ungkapnya.
Pria keturunan Tionghoa ini juga menambahkan bahwa tidak ada ketegangan atau konflik antar umat beragama di Labuan selama 30 tahun ia tinggal disana. Ungkapnya lagi masyarakat di Labuan sudah mendukung toleransi keberagamaan.
“Semuanya baik, Nggak ada masalah apa-apa. Saya sendiri juga suka membaur ke masjid atau kemana-kemana biasa saja,” ucapnya.
Toleransi yang Nyata
Pengalaman Hendrase selaku umat Budha yang merasakaan adanya keberagaman juga dirasakan oleh Fatmah Marlian selaku muslim di Labuan. Fatmah membenarkan ucapan dari Hendrase terkait keberagaman yang ada di Labuan.
Ia mengungkapkan bahwa daerah Labuan memang mayoritas menaganut agama Islam, tetapi ada juga agama Katolik dan Budha.” Di Labuan benar adanya keberagaman agama,” ungkapnya via whatsapp.
Perempuan yang berusia 20 tahun itu juga menjelaskan memiliki pengalaman tentang toleransi yang ada di Labuan.” Pengalaman saya sih mengenai toleransi agama yang ada disini misalnya, masyarakat muslim mengadakan suatu acara keagamaan misalnya maulid nabi ya contohnya, masyarakat yang non muslim pun ikut berpartisipasi dalam pendanaan acara tersebut,” jelasnya.
Terakhir ia juga mengatakan bahwa selama ia tinggal di Labuan tidak pernah ada konflik agama yang terjadi.
Novita Sari (20) teman Fatmah sekaligus umat Budha di Labuan mengatakan toleransi benar nyata adanya.”Semuanya aman-aman saja tanpa intervensi,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan bahwa bentuk toleransi dapat dilihat ketika ada acara dari umat agama lainnya. “Yang saya tahu pasti kalo umat mayoritas muslim bikin acara, masyarakat non muslim ada sumbangan ke acara itu,” pungkasnya.
Penulis: Andre Prasetyo Nugroho
Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.